Jakarta - Ketika pendapatan negara dari sektor pajak masih kedodoran, negara ternyata punya piutang besar. Data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat Rp 233 triliun. Wow.
Kata Prof Rizal Djalil, Anggota IV BPK, piutang negara Rp 233 triliun itu, terdiri dari piutang dari sektor pajak Rp 91,7 triliun, ditambah piutang dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 141,3 triliun. "Piutang negara itu hak rakyat. Jadi harus di tagih. Jangan sampai kadaluwarsa," papar Rizal.
Terkait piutang negara dari sektor pajak, terang Rizal, terbesar adalah piutang PPh pasal 25 badan Rp 23,12 triliun, piutang PPN dalam negeri Rp 21,445 triliun dan piutang PBB pertambangan Rp 9 triliun.
Sedangkan piutang negara dari PNBP, papar mantan, memiliki nilai signifikan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebesar Rp 23,123 triliun. "Sebagian besar berasal dari iuran royalty, iuran tetap KK (kontrak karya) atau IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara)," terang mantan anggota Komisi Keuangan DPR itu.
Menurut Rizal, selain piutang negara Rp 233 triliun itu, terdapat piutang PNBP yang belum final senilai Rp 78 triliun. "Yang ini belum final karena masih harus menunggu keputusan dari pengadilan pajak," papar mantan anggota DPR asal PAN itu.
Temuan BPK ini, tentunya harus ditangkap oleh Presiden Joko Widodo. Apalagi, pemerintah punya segudang program pembangunan yang butuh dana besar.
Daripada harus menambah jumlah utang luar negeri, ya lebih baik memproses piutang negara ini.
"Dana ini kan bisa dimanfaatkan untuk mambangun infrastruktur di Papua, cukup dahsyat. Infrastruktur Papua bisa menyaingi Jawa atau Jakarta," papar Rizal.
Nah, untuk mempercepat proses penagihan piutang negara tersebut, Rizal menyarankan sejumlah langkah yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, percepat amandemen UU No 5 Tahun 2008 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Langkah ini penting agar direktorat pajak segera menjadi badan otonom yang langsung bertanggung jawab kepada presiden.
"Kedua, modernisasi IT sistem pajak. Agar, direktorat pajak bisa mengakses seluruh potensi pajak. Apakah itu di kementerian dan lembaga (K/L), atau seluruh daerah dan perusahan swasta," paparnya.
Langkah selanjutnya, kata Prof Rizal, data based pajak harus diperbarui. Serta, mereformasi pengadilan pajak agar lebih profesional, transparan dan akuntabel. "Selama ini, masyarakat mungkin belum banyak yang tahu tentang adanya pengadilan pajak. Di mana tempatnya, rekrutmen hakimnya bagaimana, kapan bersidangnya. Ke depan, ini harus diperbaiki," kata Rizal.
Selain itu, kata Rizal, perlu sinergi antara aparat penegak hukum dengan direktorat pajak dalam meningkatkan penerimaan negara.
"Khusus Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), unit organisasi yang mengelola PNBP harus ditingkatkan dari eselon III menjadi eselon I. Mengingat, besarnya potensi PNBP serta tunggakannya yang menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM," ungkap mantan ketua panja RUU Perpajakan DPR pada 2007 itu.
Belum ada tanggapan untuk "BPK Ungkap Piutang Negara tak Tertagih Rp 233 T"
Posting Komentar